*

*

Ads

Selasa, 10 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 020

"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!" tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa.

Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik setelah tadi nampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu disitu berdiri dua orang itu.

Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tidak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi.

Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio.

"Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba saja lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak dan ujung lengan baju menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas!

Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tidak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang.

Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangar berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya hebat sekali karena kedua tangan wanita itu bertubi-tubi mengirim totokan-totokan kearah sembilan jalan darah di bagian depan tubuhnya.

Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa melepaskan cengkeraman pada tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya kuat sekali sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu.

Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, diapun sudah dapat mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio dapat bergerak lagi dan diturunkan.

Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang diantara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukan lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya nonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya. Hatinya diam-diam merasa heran sekali karena selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa.

Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu lihai, kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja!

Kini, Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali.

"Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena disini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapakah sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu.

Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, lalu menjawab singkat.
"Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan ia adalah Toan Hui Cu."

Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih teringat akan kedua nama ini. Seperti telah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali.

Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya bahkan sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tidak disukanya. Kemudian, dengan beruntung dia menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang. Akan tetapi, di dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang telah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai.






Bahkan, dia masih bersikap demikian bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah. Ci Kang dengan jantan melindungi dan bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!

Setelah Hui Song dan Sui Cin menikah, di kebun pada malam hari itu, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih. Dia tahu bahwa mengapa Hui Cu menangis. Keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai.

Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, juga Toan Hui Cu lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis, rajanya datuk-datuk sesat!

Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, ketika mereka saling jumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandeng tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Tentu saja sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat!

Akan tetapj agaknya Lam-hai Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih amat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi, mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai!

"Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, setelah aku berada disini dan melihat kalian berdua latihan, hatiku tertarik sekali. Sekarang, berikanlah kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo.

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, dan keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda.

"Enak saja engkau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"

Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, akan tetapi karena memang matanya sipit sekali, biar dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merobah muka itu semakin buruk dan lucu.

Akan tetapi, tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu. Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tidak cepat menangkis dengan sinar putih.

Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya. Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu, bukan menangkis lengan, melainkan menyambut lengan yang mencengkeram kearah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan.

Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dulu mengenai jalan darah dipergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya.

"Uhhh…..!"

Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, cepat sekali sudah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput.

"Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lalu menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.

Tubuh itu kini hanya nampak bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu!

Ci Kang sudah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, kadang-kadang dipegang di bagian tengah-tengah dan diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam.

Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biarpun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.

Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini mengeluarkan pula sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun merasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu!

Memang hebat ilmu silat kedua orang hukuman itu. Kalau gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari aras seperti burung garuda menyambar-nyambar, sedangkan Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular.

Betapapun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang diantara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya.

Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya. Maka, biarpun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi Kecepatan dua orang pengeroyoknya dan kedua lengan itu setelah diputar-putar mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai kedua lengannya tidak mempengaruhi!

Sejak tadi, Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua matanya dan hwesio ketua kuil ini tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Kiranya memang kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkangnya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya.

Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri!

Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang kesitu. Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang sambil menangis memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka itu lembut dan biarpun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini dan mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo?

Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali ini mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya.

Biarpun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, bahkan beberapa kali mereka terdorong mundur oleh angin pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.

"Kwan Im Hud-couw…….!”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar