*

*

Ads

Selasa, 10 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 017

"Sssttt, Suheng, aku diperintah Suhu untuk mengetuk pintu ini dan memanggil penghuninya agar menghadap Suhu!"

Mendengar jawaban ini, hwesio itu nampak terkejut, lalu mengangguk-angguk dan pergi dari situ karena dia tidak berani mencampuri sutenya yang sedang melaksanakan tugas penting itu.

"Tok-tok-tok.. ..!"

"Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari dalam, suaranya lembut namun nyaring dan mengejutkan Han Siong walaupun tadinya dia mengharapkan memperoleh jawaban.

"Aku... eh, teecu.….diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang.…Lo-suhu agar suka datang menghadap Lo-suhu…."

Hening sejenak, lalu suara itu bertanya lagi.
"Siapa namamu?" ,

"Teecu... Han Siong…..”

Jawabnya tanpa berani menyebutkan she (nama keluarga) yang oleh kakek buyutnya telah dipesan agar dia tidak memperkenalkan she-nya kepada siapapun juga.

"Engkau anak yang suka menyapu di pekarangan luar pondok ini?" kembali suara itu terdengar.

Tentu saja Han Siong merasa heran. Orang ini tidak pernah keluar, bagaimana bisa tahu bahwa dia suka menyapu pekarangan di luar rumah itu?

"Benar, Lo-suhu!"

Daun pintu berderit dan Han Siong melangkah mundur. Ketika daun pintu terbuka, muncullah seorang laki-laki dan Han Siong memandang dengan mata terbelalak, tertegun karena kagum dan heran. Sama sekali tidak seperti yang diduganya. Tadinya dia membayangkan bahwa hwesio tua yang dihukum itu tentulah seorang hwesio yang sudah tua, pucat dan kurus kering, karena hwesio itu tidak pernah tersentuh sinar matahari, makan pun hanya dari makanan yang diantar khusus oleh hwesio tua di dapur.

Akan tetapi ternyata yang muncul ini adalah seorang laki-laki yang rambutnya panjang awut-awutan biarpun jubahnya masih jubah hwesio. Agaknya karena lama tidak bercukur, maka rambut telah tumbuh dengan subur di kepalanya yang tadinya gundul. Mukanya sebagian tertutup kumis dan jenggot, akan tetapi dapat dilihat bahwa muka itu amat tampan, gagah dan tidak terlalu tua. Sekitar tiga puluh tahun lebih! Sinar matanya mencorong akan tetapi penuh kelembutan dan kegagahan dan biarpun pakaiannya pakaian hwesio yang lusuh, namun tidak menyembunyikan tubuhnya yang tegap.

Anehnya, lengan kiri pria itu buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tergantung lemas dan kosong. Makin iba rasa hati Han Siong melihat bahwa orang yang terhukum ini adalah seorang penderita cacat.

Sejenak keduanya saling pandang dan pria itu tersenyum melihat keheranan membayang di mata anak itu.

"Kau... kau... masih muda dan bukan hwesio…."

“Anak baik, ketika memasuki kamar ini, aku adalah seorang hwesio." Dia meraba kepalanya yang penuh dengan rambut yang subur, lalu tersenyum. "Sekarang bukan lagi."

Ingin sekali Han Siong bertanya mengapa pria itu dihukum, akan tetapi tentu saja dia tidak berani karena hal itu dianggapnya tidak sopan. Akan tetapi hatinya telah demikian tertarik kepada pria ini, kagum dan juga kasihan.

Teringatlah dia akan hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu itu, yang semalam dia lihat seperti membayangi dua bayangan orang terdahulu. Jangan-jangan hwesio tua gagu itu mempunyai niat buruk, pikirnya. Tentu berniat buruk karena dia sendiri tidak percaya bahwa hwesio itu benar-benar gagu. Dan orang yang pura-pura gagu, tentu mengandung niat tidak baik.






"Lo-suhu... eh, Paman... aku mempunyai berita yang menarik sekali untuk Paman…."

Han Siong celingukan ke kanan kiri dan melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu melanjutkan sambil berbisik,

"semalam, dengan tidak sengaja aku melihat dua bayangan orang berloncatan masuk dari luar pagar tembok, akan tetapi tidak lama kemudian muncul pula seorang lain yang agaknya membayangi dua orang terdahulu…."

Pria itu mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm... siapakah orang terakhir itu?"

Kembali Han Siong celingukan.
"Dia adalah hwesio tua gagu tukang sapu disini, akan tetapi aku curiga kepadanya, Paman. Dia itu mengaku gagu, baru setahun ditolong karena kedapatan kelaparan, dijadikan tukang sapu disini, akan tetapi sudah beberapa kali aku mendengar dia mengigau dan bicara dalam tidurnya."

"Ehhh... ?" Pria itu semakin tertarik. "Anak baik, coba ceritakan bagaimana bentuk wajah dan tubuh orang yang mengaku gagu itu.”

"Usianya sekitar lima puluh tahun, mukanya panjang meruncing ke depan seperti muka kuda, mulutnya lebar dengan gigi atas menjorok ke depan dan menonjol keluar, dua matanya sipit dan kedua telinganya lebar. Tubuhnya tinggi kurus dan kedua kakinya timpang."

Pria itu kembali mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.
"Anak baik, keteranganmu ini amat penting sekali. Apakah engkau juga diutus untuk memanggil.…penghuni di kamar timur?"

Han Siong mengangguk.

"Kalau begitu, pergilah kau kesana, Han Siong. Selain menyampaikan panggilan ketua, juga kau ceritakan apa yang kau lihat semalam kepadanya. Hal ini penting sekali untuk diketahuinya."

Girang rasa hati Han Siong. Pria yang menimbulkan perasaan kagum di hatinya ini percaya kepadanya!

"Baik, Paman!"

Dan dia pun berlari menuju ke pondok terpencil di ujung timur itu. Ketika dia mengetuk beberapa kali, dia pun mendengar suara wanita dari dalam.

"Siapa yang mengetuk pintu?"

Suara itu demikian halus dan merdu, juga seperti suara pria tadi, mengandung penuh kesabaran sehingga menyenangkan hati Han Siong.

"Saya Han Siong, diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang Locianpwe menghadap Suhu sekarang juga."

Hening sejenak, lalu suara halus itu bertanya,
"Engkau anak yang biasa menyapu pekarangan depan pondok ini?"

Kembali Han Siong terkejut dan sebelum dia menjawab, daun pintu terbuka dan untuk kedua kalinya dia tertegun. Wanita yang nampak setelah daun pintu dibuka itu sama sekali jauh daripada perkiraan yang dibayangkannya. Bukan seorang nikouw tua, melainkan seorang wanita yang amat cantik dan perkasa!

Seperti juga pria tadi, wanita ini usianya sekitar tiga puluhan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang pendeta. Dari keadaan ini Han Siong dapat menduga bahwa agaknya wanita ini pun dahulunya seorang nikouw yang gundul kepalanya, akan tetapi rambutnya tumbuh dengan subur selama bertahun-tahun dalam tahanan.

Dia merasa kagum bukan main, akan tetapi juga kasihan. Dua orang itu ternyata masih muda, dan mereka tentu lebih muda lagi ketika pertama kali masuk ke kamar hukuman itu. Mengapa? Apa kesalahan mereka?

Seperti yang dipesankan oleh pria di kamar sebelah barat tadi, Han Siong lalu menceritakan tentang apa yang dilihatnya semalam. Wanita itu nampak lebih terkejut lagi.

"Hemmm... jahanam itu berani memata-matai kami!" Demikian ia menggumam akan tetapi agaknya ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata, "Han Siong, sampaikan kepada ketua kuil bahwa sebentar lagi aku datang menghadap."

"Baik... Bibi!" kata Han Siong.

Wanita itu tersenyum, manis sekali, mendengar betapa anak itu sudah cepat merobah sebutan setelah melihatnya. Tadi menyebut Locianpwe, sebutan menghormat dari kaum muda kepada kaum tua yang dianggap gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi kini menyebut Bibi saja. Dan agaknya ia lebih senang dengan sebutan ini.

Han Siong lalu berlari ke ruangan depan dimana Ceng Hok Hwesio masih duduk bersila. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek hwesio itu.

"Suhu, teecu sudah menyampaikan undangan Suhu kepada kedua orang Paman dan Bibi yang berada didalam Kamar Renungan Dosa itu."

"Bagus, dan kau boleh pergi melanjutkan pekerjaanmu." kata ketua kuil itu sambil memandang keluar.

Han Siong bangkit berdiri dan keluar dari ruangan itu. Dia melihat apa yang dipandang oleh gurunya, yaitu pria dan wanita yang ditemuinya tadi. Mereka berjalan perlahan, berdampingan, dengan tenang.

Han Siong mengambil sapunya lagi dan menyapu lantai, melanjutkan pekerjaannya. Ketika pria dan wanita itu lewat di depannya, mereka berhenti melangkah dan tersenyum kepadanya. Han Siong membalas senyum mereka dan melanjutkan pekerjaannya ketika mereka meninggalkannya untuk memasuki ruangan depan dimana Ceng Hok Hwesio sudah menanti.

**** 017 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar