*

*

Ads

Minggu, 08 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 008

Empat orang itu, tadi hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi saja, dan mereka sedang mengalami kekagetan karena datangnya serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. oleh karena itu, begitu ada bayangan seperti burung raksasa ini menyambar ke arah mereka, empat orang itu terkejut bukan main.

Mereka sedang melawan pengaruh suara melengking, dan kini disambar oleh burung raksasa yang mendatangkan angin sambaran amat dahsyat, Tentu saja mereka terkejut dan berusaha untuk membela diri.

Akan tetapi, sambaran angin dari sayap "burung raksasa" itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu terdorong ke belakang dan pada saat itu, mahluk itu sudah menyambar turun dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh dari situ.

Ketika empat orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata disitu telah muncul dua orang aneh lainnya.

Seorang kakek berpakaian pengemis dengan baju kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih, tubuhnya kurus dan tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan, demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan main. Di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di tangannya nampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari kayu hitam.

Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri gembira seperti orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya.

Dan tak jauh dari situ, telah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan leng dan Kwee Siong bersama isteri mereka.

Kakek yang memakai jubah seorang pendeta lama, jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi ketika kakek itu meloncat seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap. Kakek pendeta lama ini berwajah alim, alisnya tebal dan pandang matanya lembut, mukanya bulat dan kedua telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh, mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa.

Tentu saja Siangkoan leng, Ma Ki li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul pula dua orang kakek yang juga memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri.

Kakek berpakaian pengemis itu dengan suara sulingnya telah membuat mereka kerepotan dan mereka maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang memiliki daya serang sedemikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas memiliki kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari pengaruh suara suling, telah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu, memandang kagum kepada penolongnya.

Karena maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi mereka, sepasang suami isteri Guha Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas puncak itu.

Empat orang kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu, agaknya sudah tidak mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Biarpun Siangkoan Leng dan Kwee Siong bersama isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar diantara kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak ada artinya dan karena itu, begitu mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan sudah melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka berempat itu.

Sungguh aneh sekali. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya, empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini melarikan diri bersama-sama turun dari bukit secepatnya seperti orang-orang yang dikejar setan saja. Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah hutan dan lenyaplah semua perrnusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka.

Agaknya, peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apalagi karena Hay Hay yang menjadi perebutan diantara mereka itu kini terjatuh ke tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini sudah melupakan semua permusuhan diantara mereka agaknya!

"Bukan main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang selihai mereka !" kata Kwee Siong sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, menggunakan sehelai saputangan hitam.






Wajah isterinya yang biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan.

"Mereka itu bukan manusia lagi..." kata pula isterinya yang masih merasa tegang dan gentar.

Siangkoan Leng menarik napas panjang.
"Ah, setelah bertemu dengan mereka, baru aku tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri….hemm, betapa bodohnya….."

"Engkau benar, Siangkoan Leng. Kini tidak ada artinya lagi bagi kita untuk saling bermusuhan. Bahkan bersatu pun kita masih tidak mampu menandingi mereka, apalagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk bisa merampas kembali Sin-tong?"

Siangkoan Leng menggerakkan pundaknya.
"Apa lagi yang dapat kita lakukan? Kita tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapa jembel tua yang amat lihai dengan suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang merampas Hay Hay itu."

“pendeta itu jelas seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu .....hemm, jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau Hiu!" kata Kwee Siong.

"Apa? Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)? Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?” kata Ma Kim Li dengan mata terbelalak.

"Wah, kalau benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!" kata Tong Ci Ki. "Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat Sian (Delapan Dewa)?"

"Kabarnya begitu." jawab suaminya. "Akan tetapi karena mereka itu disebut sebagai tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya seorang diantara mereka muncul, dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ah, semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"

"Satu-satunya jalan bagi kita untuk membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba diantara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet akan Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Dan harus kita ketahui bahwa keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) tidak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka." kata Siangkoan Leng.

"Baik sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas." kata Kwee Siong dan mereka pun lalu berunding seperti empat orang sahabat baik.

Sungguh lucu dan aneh sekali. Baru beberapa saat yang lalu, mereka akan dengan senang hati saling serang dan saling bunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi sekarang, mereka berunding seperti empat orang sahabat baik.

Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan.

Sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, mencari bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu.

**** 008 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar