*

*

Ads

Selasa, 24 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 075

Hari itu kota Pao-teng amat ramai. Maklum, dua hari lagi rakyat akan merayakan hari raya Tahun Baru Imlek. Beberapa hari sebelum Sincia (Tahu Baru Imlek) biasanya orang-orang sibuk berbelanja. Mereka membeli kain dan pakaian baru, juga membeli beberapa macam bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta.

Para pedagang pakaian, bahan masakan dan sembahyang yang lebih dulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasanya, pada hari-hari sebelum Sincia para pedagang itu akan kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa pula, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan dari pada persediaannya, maka harga-harga akan membumbung tinggi sehingga perut para pedagang menjadi semakin gendut.

Semua orang nampak berseri wajahnya. Mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira. Ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik, apa lagi yang dibicarakan kalau bukan desas-desus tentang wanita lainnya! Memang asyik membicarakan aib atau keburukan orang lain, karena kita merasa bersih dan tinggi ketika membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya,.

Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak yang meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka dan mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja.

Daya tarik lawan jenis yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua belah pihak merasakan kegembiraan besar karena bisa saling pandang dan saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung atau menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu.

Di dalam kesempatan semacam itu, bukan mustahil dua hati akan bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal mala petaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan semacam ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita.

Seperti telah menjadi kebiasaan semenjak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sincia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sincia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan hingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri di dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak merasa sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dan membakar petasan seperti sedang bersaing dengan orang lain. Makin besar petasan yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati.

Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan raya kota Pao-teng, tampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan sebab boleh dibilang pada pagi hari itu semua wanita di kota Pao teng keluar rumah. Akan tetapi gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan beberapa pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu.

Dia adalah seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagai setangkai bunga yang sedang mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, dan ujung hidungnya yang mancung dapat bergerak-gerak, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, jika mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.

Pakaiannya dari sutera yang halus dan meski pun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukanlah seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang yang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu dia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung.

Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti yang sudah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan di antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebenarnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau dia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. Dia berhasil mengalahkan Cun Sek, lantas dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai.

Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu sute dari ayahnya, untuk mengurus perkumpulan itu. Dia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga akan mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam milik Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Ada pun ayah dan ibunya, sesudah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah.

Demikianlah perjalanan singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu dia memasuki kota Pao-teng. Dia turut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sincia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi di samping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan sedih dan juga kesepian karena dia teringat pada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai.

Pada hari Sincia, biasanya dia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas ketika berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sincia itu. Sekarang dia menyambut menjelang Sincia seorang diri saja, di tempat asing di mana dia tidak mempunyai seorang pun kenalan. Dan yang lebih mengesalkan hatinya lagi, sampai sekian lamanya dia belum dapat menemukan jejak dua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong.






Pada saat itu pula terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara mereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu adalah milik seorang yang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, juga ada selosin pasukan mengiringi kereta.

Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya tiba-tiba saja meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta menjadi terkejut, dan dua di antaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari ketakutan sambil berloncatan.

Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu semakin ketakutan, terus melonjak-lonjak sehingga kusirnya terlempar keluar dari atas kereta saking kuatnya guncangan itu! Empat ekor kuda itu lalu kabur!

Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul. Akan tetapi mereka pun tidak mampu menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik ketika melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka.

Semua orang terbelalak dan merasa khawatir melihat peristiwa itu terjadi. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Taijin, yaitu seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar!

Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. Dia bukan lain adalah Kui Hong!

Ketika tadi dia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong segera lari menghadang dan begitu kereta itu lewat, dia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan cepat dia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sinkang-nya, dia lalu menarik kendali kuda itu.

Empat ekor kuda itu meronta, melonjak-lonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia belaka dan akhirnya, biar pun mereka itu masih meringkik-ringkik, tetapi mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka sehingga kereta itu pun berhenti.

Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang pria setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta.

Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lebam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, Nona, terima kasih...!” katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu.

Kui Hong hanya mengangguk, lalu dia pun melompat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan dia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja.

Pembesar itu menatap kepadanya sambil mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepada pria itu juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.

"Ahhh, kiranya Cang Taijin yang berada di dalam kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang sangat dikaguminya dan dahulu pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana.

Sejak tadi menteri itu sudah merasa mengenal Kui Hong. Sekarang dia melangkah maju dan mendekat lalu membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, Nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.”

Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walau pun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai seorang pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.

“Memang kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi pemberontak Kulana...”

"Ahh, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, lihiap (pendekar wanita)?”

"Nama saya Cia Kui Hong, Taijin."

"She Cia? Ahh, sekarang aku ingat. Lihiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Lihiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan kini, lihiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang tadi sudah menyelamatkan kita. Lihiap, dia ini adalah puteraku Cang Sun."

Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam dia kecewa. Dia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, tetapi tidak memiliki wibawa dan keagungan seperti ayahnya, malah pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.

"Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu tadi," Cang Sun berkata sambil tersenyum.

"Cia-lihiap, agaknya engkau baru saja masuk ke kota ini. Buntalan pakaianmu masih kau gendong...,” kata pembesar itu.

"Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Taijin."

"Jika begitu, mari engkau ikut bersama kami, lihiap, menjadi tamu kami yang terhormat."

"Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Taijin."

"Ahh, sama sekali tidak, lihiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu."

"Akan tetapi saya hendak mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja," kata Kui Hong.

Alasan ini bukan dicari-cari karena memang dia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun. Sebenarnya Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, dia sudah biasa menyebutnya paman saja.

Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi juga merupakan seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kongkong-nya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga telah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Dia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga hendak mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu.

"Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Hari ini kita bermalam di Pao-teng dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus ikut menggembirakan kami dengan merayakan Sincia di rumah kami di kota raja, lihiap."

Melihat sikap yang sangat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Dia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan dia pun tahu bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu telah dilihatnya sendiri ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana beserta kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan!

Sesudah Kui Hong menerima undangannya, Cang Taijin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun supaya menunggang kuda. Kemudian kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum.

Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Taijin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, namun juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Taijin.

**** 075 ****
Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar